Sabtu, 12 Juni 2010

Kejagung Dinilai Aneh

Jakarta-HARIAN BANGSA
Anggota Komisi III DPR dari FPDIP Gayus T Lumbuun menilai langkah yang diambil oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji terkait SKPP pimpinan KPK Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah aneh. Pasalnya, tak ada landasan hukum yang kuat untuk mendukung peninjauan kembali atas praperadilan.
"PK tidak menghalangi proses yang berlanjut. Agak aneh dikatakan PK atas SKPP karena PK hanya bisa dilakukan atas putusan untuk pemidanaan. Peraturan MA menyebutkan bahwa PK bisa diajukan atas putusan pemidanaan. Karena tidak disebut putusan prapemidanaan bukan berarti dia bisa mengajukan. Itu terbalik," kata Gayus kepada wartawan sesaat sebelum diskusi di Jakarta, Jumat (11/6).


Gayus menyatakan langkah Jaksa Agung inkonsisten karena ia mengaku tak ingin melanjutkan tetapi dia tahu PK tak menghentikan proses. Pilihan yang dipilih juga masih berpeluang dikalahkan oleh pengadilan. Pasalnya, orang yang menjadi kunci masalah dugaan penyuapan bernama Yulianto tidak pernah diketemukan.
"Bagaimana bisa pengadilan mengadili kasus dimana orang yang menyerahkan suap, kapan, dimana masih belum ditemukan. Bagaimana bisa diabaikan orangnya. Missing link ini kan belum ditemukan," ujarnya.
Ia mengaku tak mengerti sikap yang diambil jaksa agung padahal ia dinilai berpengalaman dan dibantu sekian banyak staf. Ia menegaskan bahwa pengajuan PK juga melanggar UU karena PK tidak pernah diajukan dalam upaya pemidanaan. Sementara, SKPP sendiri merupakan masalah prosedural.
"Jaksa Agung berpengalaman puluhan tahun. Kerjanya dibantu sekian banyak staf. Tapi ia masih melakukan pelanggaran dengan memilih diajukannya PK," papar Gayus.
Menurutnya, pelanggaran tersebut adalah pelanggaran ketentuan, aturan, dan mekanisme proses hukum. PK tidak pernah diajukan di luar putusan pemidanaan.
"Tapi kok Jaksa Agung memilih PK dalam kasus Bibit-Chandra yang bukan putusan pemidanaan," paparnya.
Menurutnya, dengan mengajukan PK, seakan-akan Jaksa Agung memang ingin melanjutkan perkara tersebut.
"Tujuan SKPP ataupun deponering adalah untuk mengenyampingkan (perkara). Tapi PK adalah malah untuk melanjutkan. Makanya aneh kalau (praperadilan Bibit-Chandra) malah di-PK-kan," ungkapnya.
Sementara itu anggota Komisi III asal Fraksi Partai Golkar Nudirman Munir menyatakan pengajuan PK adalah bentuk pembusukan KPK melalui pembunuhan karakter.
"Hal yang terjadi akhir-akhir ini memang benar-benar menggantung nasib KPK. Itu akan membunuh independensi KPK. Bukan saja melemahkan, namun membusukkan KPK," paparnya.
Menurut Nudirman, bila memang pengajuan PK dianggap sebagai terobosan yurisprudensi, hal itu sah bila dilakukan hakim agung.
"Tapi kalau malah Jaksa Agung yang melakukannya, saya rasa itu bukan hak dia," papar Nudirman.
Dalam praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo sebelumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas Bibit dan Chandra.
Menanggapinya, Kejaksaan Agung tidak menerima putusan itu dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun putusan banding pun menguatkan putusan PN Jakarta Selatan.
Kini Jaksa Agung Hendarman Supandji memilih opsi mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas perkara praperadilan dua pimpinan KPK itu.
Staf Ahli Presiden bidang hukum Denny Indrayana mendeteksi tiga modus utama dalam pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk itu, patut dipertimbangkan agar KPK dijadikan lembaga yang permanen untuk menunjang pemberantasan korupsi. Hal ini disampaikannya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (11/6).
"Ada beberapa cara yang digunakan untuk membuat KPK lemah. Pertama dengan mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Uji materi yang diajukan terhadap UU 30/2002 tentang KPK sudah delapan kali dilakukan oleh pemohon yang berbeda. Mahkamah Konstitusi menolak seluruhnya kecuali yang terkait dengan pengadilan tipikor. Ia mengevaluasi hampir seluruh pemohon mempertanyakan kewenangan KPK yang dianggap sangat besar padahal terobosan untuk mengatasi korupsi yang masif.
Modus kedua yang digunakan adalah melalui legislatif review. Ia menyatakan ada sekelompok aspirasi yang tidak senang dengan besarnya kewenangan KPK, terutama soal penyadapan. Iklim demokrasi dimanipulasi sedemikian rupa untuk kepentingan pelemahan KPK.
"Kita mengetahui ada sekelompok aspirasi yang ingin melemahkan KPK dengan mengubah kewenangan penyadapan. Ini mungkin sah menurut iklim demokrasi tapi ujung-ujungnya melemahkan," tukasnya.
Upaya lain yang dilakukan adalah dengan mengkriminalisasi pimpinan KPK yang ditunjukkan dengan kasus Bibit-Chandra. Tim Delapan yang dibentuk presiden sudah menyimpulkan tidak ada cukup bukti yang menunjukkan Bibit-Chandra terlibat.
"Tidak ada salahnya jika KPK menjadi lembaga permanen. Thailand bahkan memasukkan lembaga seperti KPK didalam konstitusinya. Padahal, kita yang lebih membutuhkan itu. Soal kewenangan bisa disesuaikan dengan membaiknya kinerja aparat penegak hukum lainnya," tandasnya.
Kejaksaan Agung akan menyerahkan memori peninjauan kembali (PK) atas putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tentang Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Penyusunan ini akan diselesaikan pekan depan.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Amari menyatakan, saat ini kejaksaan sedang melakukan penyusunan memori PK. Proses penyusunan ini dilakukan di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
"Sekarang sedang dilakukan penyusunan, namun yang melakukan penyusunan PK tetap dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, bukan Kejaksaan Agung," ujarnya ketika ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (11/6).
Ia menyatakan, bantuan dari Kejaksaan Agung berupa tambahan satu orang jaksa. Namun tim penyusun tetap bekerja di wilayah Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. "Kami akan tunggu saja hasilnya seperti apa, beri kami waktu dulu," ujarnya.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung Didiek Darmanto menambahkan, penyusunan ini diperkirakan selesai pekan depan. Ia mengingatkan pengajuan PK ini menggunakan dasar Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal tersebut PK dilakukan dengan alasan keadaan baru (novum), ada keputusan yang saling bertentangan, dan kekhilafan hakim. "Kami masih konsisten bahwa pengajuan PK ini dapat dilakukan," ungkapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar